Ia juga memiliki belasan gerai untuk unit usaha lainnya. Paling
sedikit 1.000 pekerja mendapatkan kegiatan sekaligus penghasilan dari
seluruh unit usahanya.
Pencapaiannya hari ini tentu tidak diraih
dalam semalam. Bersama istrinya, Siti Handayani alias Aniek, Jody
berkali-kali merasakan jatuh bangun berwirausaha. Hal itu bukan hal
mudah karena modal mereka terbatas dan belum ada investor pada awal
membangun usaha.
Memang banyak orang pada awalnya tidak akan
percaya Jody bekerja keras membangun bisnis. Hal itu tidak lepas dari
latar belakang keluarganya, pemilik jaringan restoran Obonk Steak and
Ribs.
Meski ayahnya, Sugondo, pemilik jaringan restoran yang
punya lebih dari 60 gerai itu, Jody tidak mendapat perlakuan istimewa.
Ia menerima gaji sebagai pegawai biasa di jaringan restoran tersebut.
Apalagi Jody bertekad mandiri sejak menikahi Siti Hariani alias Aniek
pada 1998.
Dengan gaji itu, Jody dan Aniek tahu mereka butuh
pendapatan lebih baik. Dengan ijazah terakhir setingkat SMA, sangat
sulit mendapat peluang kerja jika harus melamar ke tempat lain. Jody dan
Aniek akhirnya membulatkan tekad menjadi wirausaha. Agar bisa fokus,
mereka sepakat meninggalkan bangku kuliah. Jody meninggalkan
pendidikannya pada Jurusan Arsitektur, Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
pada semester delapan.
Sambil bekerja di Obonk, Jody mencoba
berjualan aneka makanan. Awalnya berjualan susu segar, lalu roti bakar
dan jus buah. Namun, bisnis itu terpaksa berhenti karena peralatannya
banyak diambil orang.
Jody juga berjualan kaus partai politik.
Pada Pemilu 1999, jumlah partai membengkak dari tiga menjadi 48 partai.
Jody melihat peluang itu dan memanfaatkan dengan berjualan kaus
berlambang partai politik. Hasil penjualan, antara lain, digunakan untuk
mengontrak rumah di kawasan Demangan, Yogyakarta.
Selepas
pemilu, Jody dan Aniek berpikir lagi mencari tambahan. Kelahiran anak
pertama, Yuga Adiaksa, membuat kebutuhan bertambah. Akhirnya pasangan
itu memutuskan berjualan steik, seperti yang sudah dilakukan keluarga
Jody. Namun, pasangan itu tidak meniru konsep Obonk Steak.
Mereka
memilih mahasiswa dan pelajar sebagai target pasar. Untuk merek usaha,
mereka memilih nama Waroeng Steak and Shake. Gerai pertama dibuka di
teras rumah mereka karena tidak ada dana untuk menyewa tempat. ”Saya
pilih istilah warung untuk menegaskan pesan makan steik di sini tidak
mahal,” ujar Jody.
Namun, mereka terbentur modal untuk memulai
usaha. Kala itu, Jody dan Aniek hanya punya uang Rp 100.000. Akhirnya,
Jody menjual motor dan hasilnya dipakai untuk modal awal Waroeng Steak.
Ketika baru mulai, Jody mengurus dapur dan melayani pembeli, sementara
Aniek menjadi kasir. Namun, warung itu tidak langsung ramai. ”Pernah
sehari cuma dapat bersih Rp 30.000,” ujarnya.
Masukan pelanggan
Pembeli
masih sepi, antara lain karena warung itu belum terkenal. Selain itu,
masyarakat juga masih menganggap steik makanan mahal. ”Pembeli memberi
masukan agar warung saya lebih disukai. Saya dengar masukan mereka,”
ujarnya.
Jody membuat spanduk besar dengan warna mencolok di
depan gerainya. Di spanduk dicantumkan harga steik yang murah. Ia juga
mempromosikan warungnya lewat selebaran. Tidak butuh lama, warung Jody
mulai ramai pembeli dari kalangan mahasiswa dan pelajar. ”Malah kami
mulai kewalahan,” ujarnya.
Kala itu, Waroeng Steak and Shake baru
punya 10 hotplate dan lima meja. Saat ramai, tak jarang pembeli
terpaksa menunggu meja kosong. Bahkan, Jody beberapa kali terpaksa
mengambil hotplate setelah pembeli selesai makan tetapi masih duduk di
meja. Sebab, hotplate akan dipakai untuk memenuhi pesanan pembeli lain.
Pelan-pelan,
Jody menambah peralatan. Ia juga merekrut pegawai untuk melayani
pembeli yang semakin banyak. ”Setahun sejak buka di Demangan, kami
membuka satu cabang lagi,” ujarnya.
Untuk pembukaan gerai kedua,
Jody mengajak kerabat dan temannya menanam modal dengan pola bagi
hasil. Pola itu dipakainya sampai gerai kedelapan. Di gerai kesembilan
dan seterusnya, Jody mendanai sendiri. ”Asal bisa menyesuaikan inovasi
dengan kebutuhan pasar, bisa berkembang terus. Masukan pelanggan selalu
kami perhatikan,” tuturnya.
Masukan pembeli tetap diandalkan
dalam pertimbangan pengembangan usaha. Menu-menu baru dihadirkan untuk
menyesuaikan permintaan pelanggan. Meski bermerek Waroeng Steak and
Shake, gerai-gerai Jody juga menyediakan menu dengan bahan utama nasi.
Padahal, steik biasanya disantap dengan kentang goreng.
Pengembangan
Saat
Waroeng Steak and Shake semakin berkembang, Jody kembali membuat
keputusan untuk berkonsentrasi penuh. Ia tinggalkan Obonk agar bisa
sepenuhnya mengurus Waroeng Steak and Shake. Sejak 2002, ia fokus
mengembangkan Waroeng Steak and Shake yang terus menambah gerai.
Konsentrasinya
membawa hasil menggembirakan. Kini, ia mengelola 50 gerai Waroeng
Steak and Shake di sejumlah kota. Ia juga membuka gerai aneka makanan
dengan bendera Festival Kuliner. Bisnis kulinernya dilengkapi dengan
Waroeng Penyetan dan Bebaqaran serta delapan gerai waralaba merek lain.
Ia juga merambah bisnis olahraga dengan membuka arena futsal.
Meski
yakin pasar Indonesia masih terbuka sangat luas, Jody sudah mulai
mempersiapkan ekspansi ke luar negeri. Untuk pasar luar negeri, Waroeng
Group akan menggunakan pola waralaba. ”Untuk pengembangan pasar
Indonesia, kami berusaha dikelola sendiri dengan dana sendiri,”
ungkapnya.
Wajar ia yakin bisa mendanai sendiri pembukaan gerai
baru. Dalam salah satu kuliah umum di Yogyakarta terungkap, salah satu
gerainya di Yogyakarta beromzet rata-rata Rp 500 juta per bulan.
Padahal, ia mengoperasikan puluhan gerai.
Namun, tidak semua
dinikmati sendiri oleh Jody. Salah satu gerainya di kawasan Gejayan,
Yogyakarta, didedikasikan untuk kegiatan amal. Seluruh keuntungan dari
gerai itu dipakai untuk mendanai Rumah Tahfidz, pesantren penghafal Al
Quran dengan santri hampir 2.000 orang. Selain dari gerai itu, Jody
juga menyumbangkan sebagian keuntungan dari unit usaha lainnya untuk
mendanai tujuh Rumah Tahfidz yang dikelolanya. ”Saya dibantu
teman-teman, tidak menanggung sendiri,” ujarnya merendah.
Jody
memang selalu tampak bersahaja dan merendah. Jika bertemu sepintas,
sama sekali tidak terlihat sosok orang muda pemilik bisnis beromzet
puluhan miliar rupiah per bulan. Bisnis yang dibangun dengan kerja keras
sendiri, bukan warisan. Kerja keras dalam 12 tahun mengantarnya dari
pemuda yang batal jadi arsitek tetapi menjadi raja steik. (Kris Razianto Mada)
Minggu, 09 Juni 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
-Kami tidak akan segan-segan menghapus komentar anda jika tidak berhubungan dengan artikel.
-Dilarang keras berkomentar dengan live lnik (akan dihapus).
-Komentar yang membangun sangat kami harapkan Untuk memajukan blog ini.